Saham PT Bank Jago Tbk. (ARTO) yang termasuk dalam jajaran indeks LQ45, pernah ramai dibicarakan investor di pasar saham Indonesia lantaran reli-nya yang luar biasa dalam tempo 2 tahun.
Bayangkan saja, sebelum Juni 2020 ia masih berada di bawah level Rp 1.000 per saham. Kemudian, melesat hampir menyentuh Rp 20.000 per lembar saham pada Januari 2022, sebelum merosot dilanda aksi profit taking secara besar-besaran.

Sehingga, katakanlah jika Anda membeli saham ARTO sebanyak 1 lot (100 lembar saham) di posisi Rp 1.200 (sebelum Juni 2020) dan melepas posisi di Rp 19.000 (awal Januari 2022), maka selisih posisi beli dan posisi jual adalah Rp 17.800. Artinya, keuntungan Anda adalah Rp 17.800 x 100 lembar saham (1 lot) = Rp 1.780.000. Padahal, modal Anda hanya 1 lot saja, atau Rp 1.200 x 100 = Rp 120.000 untuk masuk pasar.
Itu tadi hanya 1 lot. Bagaimana jika lebih? Katakanlah 10 lot? Maka Rp 1.780.000 x 10 = 17.800.000.
Lumayan banget kan?
Konon, banyak investor dalam negeri (yang modalnya lebih dari Rp 100 juta) mendadak tajir melintir dari saham ARTO setelah mereka melepas posisi-nya.
Lantas, bagaimana prospek ARTO ke depan, terutama secara teknikal?
Sepertinya, sulit untuk mengharapkan ARTO bisa kembali ke level puncak 2022. Karena, gejala rebound secara long-term sama sekali belum terlihat. Meskipun, level Rp 1.500 sejauh ini masih mampu membatasi sisi bawah.
Potensi bullish masih belum terlihat. Yang ada malah risiko bearish, apalagi jika harga turun menembus Rp 1.500.
Secara teknikal dengan bantuan Fibonacci Retracement, ARTO membutuhkan aksi beli di atas level 23.60% (sekitar Rp 5.800) yang diharapkan dapat mendorong harga naik lebih tinggi, setidaknya menjangkau kisaran 38.20% (sekitar Rp 8.450).
Leave a Reply